Lampu
pun kemudian menyorot ke panggung drama kisah cinta dua
kesatria Surakarta, Raden Mas Said dan Rubiyah. Sebuah panggung yang
ditata miring.
Adegan dibuka dengan tarian Rubiyah. Sambil menari, ia bernyanyi pilu.
Ia sedang bermimpi menjadi seorang Putri Ningrat, namun sebagai rakyat biasa ia sadar itu hanya bisa jadi angan-angan.
Ia sedang bermimpi menjadi seorang Putri Ningrat, namun sebagai rakyat biasa ia sadar itu hanya bisa jadi angan-angan.
Rubiyah tidak tahu, suatu saat takdir akan membawanya menjadi istri penguasa tanah Jawa, Raden Mas Said.
Percikan cinta antara keduanya bermula saat rombongan Raden Mas Said melintasi Desa Matah, tempat Rubiyah tinggal.
Percikan cinta antara keduanya bermula saat rombongan Raden Mas Said melintasi Desa Matah, tempat Rubiyah tinggal.
Hati Raden Mas Said dikisahkan langsung tergetar saat melihat seorang gadis yang kemudian diketahui sebagai Rubiyah.
Suka cita warga pedesaan Jawa kemudian ditampilkan dengan tarian. Para penari tampak luwes, bergerak bebas di panggung miring.
Suka cita warga pedesaan Jawa kemudian ditampilkan dengan tarian. Para penari tampak luwes, bergerak bebas di panggung miring.
Adegan selanjutnya berganti dengan Raden Mas Said yang sedang melakukan tapa brata, memohon kekuatan kepada Tuhan.
Selama
bertapa, tiga figur perempuan menggodanya. Tapi dia bergeming. Sukmanya
justru melayang dari raga untuk menari bersama gadis yang ia lihat di
Desa Matah.
Sesaat setelah ruhnya kembali ke jasad, ia bertanya-tanya, "Apa maksud Tuhan mengirimkan gadis itu?"
Namun kondisi tanah Jawa yang sedang berada dalam cengkeraman penjajah Belanda membuat dia sejenak melupakan kejadian di pertapaan dan melaksanakan tugas sebagai kesatria Surakarta, memimpin perang.
"Tiji tibeh, mati siji, mati kabeh, mukti siji, mukti kabeh (mati satu, mati semua, mulia satu, mulia semua)" katanya menyemangati para prajurit.
Pasukan Raden Mas Said yang jumlahnya sedikit berhasil dipaksa mundur oleh pasukan Belanda. Mereka pun kemudian menyusun strategi, yang melibatkan prajurit putri.
Rubiyah, yang digambarkan sebagai gadis yang cantik dan sederhana, hadir sebagai pemimpin laskar prajurit putri.
Namun kondisi tanah Jawa yang sedang berada dalam cengkeraman penjajah Belanda membuat dia sejenak melupakan kejadian di pertapaan dan melaksanakan tugas sebagai kesatria Surakarta, memimpin perang.
"Tiji tibeh, mati siji, mati kabeh, mukti siji, mukti kabeh (mati satu, mati semua, mulia satu, mulia semua)" katanya menyemangati para prajurit.
Pasukan Raden Mas Said yang jumlahnya sedikit berhasil dipaksa mundur oleh pasukan Belanda. Mereka pun kemudian menyusun strategi, yang melibatkan prajurit putri.
Rubiyah, yang digambarkan sebagai gadis yang cantik dan sederhana, hadir sebagai pemimpin laskar prajurit putri.
Raden
Mas Said makin jatuh cinta padanya. Rubiyah pun kemudian menjadi
penyemangatnya dalam berjuang dan dinamai "Matah Ati" yang artinya
melayani hati sang pangeran.
Perang besar selanjutnya pecah. Laskar prajurit putri yang dipimpin Rubiyah bergabung dengan pasukan Raden Mas Said.
Bersama,
mereka berhasil memenangkan perang. Sebuah perjanjian kemudian dibuat
di Salatiga pada 17 Maret 1757, meski meninggalkan duka mendalam karena
perang telah menewaskan banyak saudara dan menimbulkan perpecahan akibat
politik devide et impera Belanda.
Panggung miring
Sang
penata artistik, Jay Subyakto, sengaja membuat panggung miring untuk
merepresentasikan latar cerita "Matah Ati", kawasan perbukitan
Surakarta.
"Waktu kita napak tilas, di sana banyak sekali bukit-bukit miring. Selain itu, panggung ini juga untuk memperjelas konfigurasi tariannya," kata Jay.
Awalnya, panggung yang miring menjadi tantangan bagi sekitar 200 penari yang terlibat dalam pementasan lakon itu.
Namun Jay, yang sempat dianggap "musuh" karena ide panggung miringnya, berhasil meyakinkan para pemain.
"Tidak
ada pertunjukan yang baik yang mudah dilaksanakan. Pasti ada proses
yang panjang," kata tamatan Fakultas Teknik Universitas Indonesia itu.
Proses
yang panjang itu akhirnya memetik sukses. Para pelakon tidak tampak
mengalami kesulitan bermain di panggung miring. Pertunjukan pun selalu
mendapat respon bagus dari masyarakat sehingga kemudian ditampilkan
berulang kali.
Lakon "Matah Ati" yang akan
digelar pada 22-25 Juni di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta,
dan Solo pada 8-10 Juni mendatang, menjadi tahun ketiga pergelaran
lakon tersebut.
"Matah Ati" sudah bertandang ke Singapura pada 22-23 Oktober 2010 dan Jakarta pada 13-16 Mei tahun lalu.
"Karena banyak permintaan dari masyarakat yang belum menyaksikan 'Matah Ati'," kata produser dan sutradara "Matah Ati", Atilah Soeryadjaya.
"Karena banyak permintaan dari masyarakat yang belum menyaksikan 'Matah Ati'," kata produser dan sutradara "Matah Ati", Atilah Soeryadjaya.
Tak hanya sejarah
Drama tari "Matah Ati" tidak hanya menyajikan sejarah perjuangan yang patut dikenang dan menampilkan budaya bangsa yang wajib dilestarikan, namun juga memanjakan mata penikmat drama dengan tata artistik panggung yang membuat kagum.
Drama tari "Matah Ati" tidak hanya menyajikan sejarah perjuangan yang patut dikenang dan menampilkan budaya bangsa yang wajib dilestarikan, namun juga memanjakan mata penikmat drama dengan tata artistik panggung yang membuat kagum.
Karya yang patut mendapat penghargaan itu berawal dari keprihatinan sang sutradara. Atilah merasa tergugah hatinya karena prihatin saat membaca tulisan "Solo is heaven for terrorist" (Solo adalah surga bagi para teroris) di surat kabar negara tetangga.
Gambaran
tentang Solo di surat kabar negara tetangga itu bertolak belakang
dengan Solo yang dia kenal, sebuah kota yang kaya akan seni dan budaya.
Ia
pun kemudian merancang pementasan "Matah Ati" untuk menampilkan Solo
yang dia kenal dan mengangkat kembali budaya-budaya Indonesia.
"Karena
banyak budaya kita yang masih tersimpan dan belum muncul. Jangan sampai
nanti muncul di negara lain dan baru ribut," tambah Atilah yang juga
berperan sebagai penulis naskah dan perancang kostum drama itu.
Akhirnya jadilah "Matah Ati" yang membanggakan nama Indonesia, meski tidak mendapat dukungan dari pemerintah.
"Kami hanya mendapat dukungan doa restu dari pemerintah," ujar Atilah.
"Kami hanya mendapat dukungan doa restu dari pemerintah," ujar Atilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar